PAREPARE, KLUPAS.COM – Dalam rangka menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 tahun, aktivis lingkungan yang tergabung dalam LSM Lingkar Hijau bakal menggelar Aksi Damai Proklamasi untuk Reklamasi.
Aksi tersebut merupakan bentuk kritikan LSM Lingkar Hijau terkait proses Pembangunan dua Mega Proyek ‘reklamasi’ pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan, yang kini dalam tahap penimbunan.
Keduanya yakni Proyek Pembangunan Masjid Terapung BJ Habibie, di pesisir Pantai Mattirotasi, Jalan Mattirotasi, Kelurahan Cappa Galung, Kecamatan Bacukiki Barat, yang dikerjakan oleh PT. Lumpue Indah dengan nilai kontrak sebesar Rp28.920.158.000, dan waktu pelaksanaan selama 160 hari.
Sementara Proyek Pembangunan Anjungan Cempae, di pesisir Pantai Cempae, Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, dikerjakan oleh PT. Apro Megatama dengan nilai kontrak sebesar Rp19.220.000.000, dan waktu pelaksanaan selama 150 hari.
Ketua LSM Lingkar Hijau, Ikbal Rahim Gani mengatakan, pihaknya telah menjadwalkan turun melakukan aksi damai dalam rangka Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, untuk Reklamasi di Parepare.
“Rencananya besok (10/8/2021), kita lakukan aksi damai di tiga lokasi. Titik pertama di Tanggul Cempae, kita mulai sekira pukul 10.00 Wita. Kemudian yang kedua di Tanggul Mattirotasi, dan lanjut aksi damai di rumah rakyat Gedung DPRD Parepare,” kata Ikbal, Senin (9/8/2021).
Terkait rencana aksi tersebut, kata dia, pihaknya sudah memasukkan Surat Pemberitahuan Aksi Damai di Kantor Polres Parepare, Kantor DPRD Parepare, dan tembusan ke masing-masing yang berkepentingan, yakni rekanan pelaksana kedua proyek reklamasi di Parepare.
“Bukan kami obok-obok. Kami setuju adanya reklamasi, kami senang. Cuma, apakah sudah sesuai dengan tahapan-tahapan dalam pengerjaannya? Pengerukan sampah dan lumpurnya, izin pengambilan timbunannya, terutama izin lingkungan dan izin reklamasinya. Dampaknya kepada masyarakat sekitar, dampak kepada nelayan di sana. Apakah sudah diberi kompensasi, termasuk fasilitas tambat perahu nelayan. Itu harus jelas, harus dibuktikan, jangan sampai nanti bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah,” tegas Ikbal.
Adapun tuntutan aksi yang bakal disuarakan, diantaranya aturan reklamasi harus diikuti berdasarkan ketentuan perundang-undangan karena ada kepentingan masyarakat di dalamnya. Masyarakat di sekitar lokasi proyek butuh kompensasi karena ada dampak pencemaran debu, sementara daerah ring satu di pinggir jalan yang dilalui kendaraan proyek rata-rata UMKM.
“Kita turun aksi atas nama rakyat. Tahapan pelaksanaan pekerjaan harus sesuai ketentuan perundang-undangan, acuannya berdasarkan RAB, ada pengerukan, ada penimbunan apakah sudah sesuai dengan hasil uji laboratorium. Jalan yang dilalui mobil pengangkut material itu harus disiram secara berkala, itu dampak lingkungan karena itu daerah pemukiman padat penduduk,” ujar Ikbal.
Ia menjelaskan, pada proyek pembangunan Anjungan Cempae, volume pengerukan di RAB jelas, dimana pada pekerjaan pondasi talud itu ada galian pembersihan sampah dan lumpur permukaan, pekerjaan timbunan tanah pilihan + pemadatan, pasangan Batu Gunung bolder batu gajah, pasangan pondasi Batu Gunung, pemasangan Geoteks membran, dengan volume yang cukup besar.
“Lumpur itu tidak sembarang dibuang, apalagi itu adalah limbah B3. Itu harus jelas dan berapa banyak yang dibuang ke TPA? Jika volume pengerukan sampah dan lumpur yang dibuang kurang dari RAB, selisih volumenya dikemanakan? Begitu pula dengan volume timbunan,” jelasnya.
Ikbal menuturkan, sebelum aksi damai besok, pihaknya terlebih dahulu membagikan beras kepada sepuluh KK (Kepala Keluarga) yang terdampak di sekitar Tanggul Cempae, sebagai bentuk kepedulian LSM Lingkar Hijau kepada masyarakat.
Ia menegaskan, mengingat saat ini masih dalam situasi pandemi, pihaknya akan turun aksi dengan Protokol Kesehatan (Prokes) Covid-19. Adapun jumlah peserta aksi, kata dia, sekira 10 orang dan tetap mematuhi standar Prokes Covid-19.
Sebelumnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pembangunan Anjungan Cempae, Suhandi, mengatakan bahwa metode pelaksanaan pekerjaan sudah sesuai spesifikasi, juknis dan RAB berdasarkan kontrak. Namun dalam pelaksanaan pekerjaannya, ada tahapan-tahapan dan harus melalui persetujuan konsultan pengawas.
“Kami juga sudah lakukan koordinasi dengan kepolisian dalam hal ini lalu lintas. Kasat Lantas dan dengan Dinas Perhubungan, kaitannya dengan hilir mudiknya kendaraan dari lokasi pengambilan material ke lokasi penimbunan. Demikian pula sampah dari lokasi penimbunan menuju ke TPA. Jadi koordinasinya ke situ,” ujar Suhandi.
Adapun sampah dan lumpurnya, kata dia, tetap dikeruk, dikeluarkan dan diangkut ke TPA.
“Kalau sampah jelas pasti kelihatan pekerjaannya, jumlah armadanya juga jelas, semua terhitung karena di posisi ini kan sudah ada yang mencatat. Armadanya dengan plat-nya, jam berapa, itu ada. Di TPA juga seperti itu,” jelasnya.
Suhandi menerangkan, existing kondisi di lapangan/lokasi pekerjaan proyek penimbunan itu tidak semua ada sampah.
“Di sudut-sudut memang banyak, lainnya itu adalah batu. Tidak mungkin dilakukan pengerukan lagi di daerah batu. Tinggal menggeser saja. Sampah dan lumpur tetap dikeluarkan. Di level tertentu itu adalah batu dan pasir, cuma dilakukan penggeseran saja,” terangnya.
Setelah itu dilakukan pemadatan secara berkala dengan ketebalan setiap 30 cm dipadatkan lagi. Tetapi startnya itu di leveling yang sudah ditentukan oleh konsultan pengawas.
“Tetap ada pemadatan. Akan dilakukan pemadatan setelah batas level yang sudah ditentukan oleh konsultan. Proses pemadatan itu ditarik di daerah kering dulu, tidak mungkin di air. Tetapi ditarik dulu pas di daerah pasang tinggi, kemudian ditarik 30 cm, itulah dasar pertamanya disepakati oleh konsultan untuk mulai start pemadatan. Itu ditandai ada leveling, dasarnya 30 cm di atas, setelah itu per layar dipadatkan. Itulah yang dipadatkan secara berkala terus. Setelah itu, tetap 30 cm dipadatkan lagi sampai level tertinggi,” urai Suhandi.
Untuk pemasangan geoteks, kata dia, di metode pelaksanaan atau pun yang ditawarkan oleh konsultan perencana di RAB, geoteks ada di antara timbunan dengan batu, bukan di alasnya.
“Nanti akan ada (geoteks) di dinding perbatasan antara batu gajah dengan tanah timbunan, bukan di bawah,” imbuhnya.
Konsultan Pengawas Proyek Anjungan Cempae, Faisal mengatakan, sampah dan lumpur tetap diambil kemudian diangkut ke TPA. Sementara volume pengerukan itu include dengan galian. Dimana kedalaman galian untuk batu gajah kurang lebih 1 (satu) meter dan volume galiannya cukup besar.
“Tetap dikeruk yang di tengah. Alat berat/excavator turun pada saat air laut surut. Kalau air pasang, itu (lumpur) didorong dulu ke tengah. Nanti air surut baru digeser, dikeruk kemudian dikumpulkan dan diangkut ke TPA. Jadi volume pengerukan include dengan galian batu gajah. Galiannya saja hampir 3.000 volumenya,” kata Faisal.
Faisal menjelaskan, volume RAB disesuaikan di lapangan, apakah itu berkurang atau bertambah.
“Kan itu acuan di RAB, bisa saja bertambah, bisa saja berkurang. Kalau kurang volumenya ada CCO, nanti dilihat dimana mau dibawa, kayaknya timbunan yang bertambah karena setelah diukur di lokasi, panjangnya bertambah dari perencanaan. Awalnya kan perencanaannya 180 meter, setelah diukur di lokasi panjangnya hampir 195 meter. Berarti bertambah. Jadi volume galian, timbunan dan bangunan di atasnya semua mengikut bertambah. Jadi disitu nanti mungkin ada kurang ada tambah,” jelasnya.
Untuk pemadatan timbunan, lanjut dia, sudah ada leveling yang dipasang, elevasi 30 cm di atas permukaan air.
“Jadi, setinggi muka air tidak dipadatkan karena basah. Kita ambil elevasi 30 cm di atas permukaan air, disitu posisi untuk memadatkan. Nah, dari situ hitung perlapis 30 cm baru dipadatkan, kemudian di atasnya lagi 30 cm dan seterusnya,” terangnya.
Adapun material timbunan yang digunakan, Faisal menyebut diambil dari dua lokasi, satu di Bili-bili dan satu di Lamajjakka, Pinrang.
“Semua ada IUP-nya dan semua sudah masuk diuji Lab. Persoalan reklamasi, untuk mengambil material harus ada izin pertambangan/IUP. Memang tampilan secara visual warna timbunan dari Bili-bili beda dengan timbunan dari Lamajjakka, tapi hasil uji Lab hampir sama dan keduanya masuk dalam golongan timbunan pilihan, sesuai di RAB,” tandas Faisal. (*)